PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Tasawuf timbul dalam Islam sesudah umat Islam mempunyai kontak dengan agama
Kristen, filsafat Yunani dan agama Hindu dan Budha, muncullah anggapan bahwa
aliran tasawuf lahir dalam Islam atas pengaruh dari luar. Ada yang mengatakan
bahwa pengaruhnya datang dari rahib-rahib Kristen yang mengasingkan diri untuk
beribadah dan mendekatkan diri kepada Tuhan di gurun pasir Arabia. Tempat
mereka menjadi tujuan orang yang perlu bantuan di padang yang gersang. Di siang
hari, kemah mereka menjadi tempat berteduh bagi orang yang kepanasan; dan di
malam hari lampu mereka menjadi petunjuk jalan bagi musafir. Rahib-rahib itu
berhati baik, dan pemurah dan suka menolong. Sufi juga mengasingkan diri dari
khalayak ramai. Mereka adalah orang yang berhati baik, pemurah dan suka
menolong.
Pengaruh filsafat Yunani dikatakan berasal dari pemikiran mistik
Pythagoras. Dalam filsafatnya, Ruh manusia adalah suci dan berasal dari tempat
suci, kemudian turun ke dunia materi dan masuk ke dalam tubuh manusia yang
bernafsu. Ruh yang pada mulanya suci itu menjadi tidak suci dan karena itu
tidak dapat kembali ke tempatnya semula yang suci. Untuk itu ia harus
menyucikan diri dengan memusatkan perhatian pada filsafat serta ilmu
pengetahuan dan melakukan beberapa pantangan. Filsafat sufi juga demikian. Ruh
yang masuk ke dalam janin di kandungan ibu berasal dari alam Ruhani yang suci,
tapi kemudian dipengaruhi oleh hawa nafsu yang terdapat dalam tubuh manusia.
Maka untuk dapat bertemu dengan Tuhan Yang Maha Suci, Ruh yang telah kotor itu
dibersihkan dahulu melalui ibadah yang banyak serta melewati beberapa
ujian-ujian dari mulai membersihkan diri dari segala dosa hingga mencapai rida
Ilahi.
Dari agama Budha, pengaruhnya dikatakan dari konsep Nirwana. Nirwana dapat
dicapai dengan meninggalkan dunia, memasuki hidup kontemplasi dan menghancurkan
diri. Ajaran menghancurkan diri untuk bersatu dengan Tuhan juga terdapat dalam
Islam. Sedangkan pengaruh dari agama Hindu dikatakan datang dari ajaran
bersatunya Atman dengan Brahman melalui kontemplasi dan menjauhi dunia materi.
Dalam tasawuf terdapat pengalaman ittihad.
Kita perlu mencatat, agama Hindu dan Budha, filsafat Yunani dan agama
Kristen datang lama sebelum Islam. Bahwa yang kemudian datang dipengaruhi oleh
yang datang terdahulu adalah suatu kemungkinan. Tapi pendapat serupa ini
memerlukan bukti-bukti historis.
Hakekat tasawuf adalah mendekatkan diri kepada Tuhan. Dalam ajaran Islam,
Tuhan memang dekat sekali dengan manusia. Dekatnya Tuhan kepada manusia
disebutkan Alquran dan Hadits. "Jika hambaKu bertanya kepadamu tentang
Aku, maka Aku dekat dan mengabulkan seruan orang yang memanggil jika Aku
dipanggil."
Disini, sufi melihat persatuan manusia dengan Tuhan. Perbuatan manusia
adalah perbuatan Tuhan. Tuhan dekat bukan hanya kepada manusia, tapi juga kepada
makhluk lain sebagaimana dijelaskan hadis berikut, “Pada mulanya Aku adalah
harta yang tersembunyi, kemudian Aku ingin dikenal. Maka Kuciptakan makhluk,
dan melalui mereka Aku pun dikenal.”
B. RUMUSAN MASALAH
1.
Bagaimanakah Perkembangan Tasawuf ?
2.
Apakah Yang dimaksud dengan Tasawuf Akhlaki ?
3.
Siapakah Tokoh-tokoh Tasawuf Akhlaki dan Ajarannya ?
4.
Apa sajakah Ciri-ciri Tasawuf Akhlaqi ?
PEMBAHASAN
A. PERKEMBANGAN
TASAWUF
Secara keilmuan, tasawuf adalah disiplin ilmu yang baru dalam syari’at
Islam, demikian menurut Ibnu Khaldun. Adapaun asal-usul tasawuf menurutnya
adalah konsentrasi ibadah kepada Allah, meninggalkan kemewahan dan keindahan
dunia dan menjauhkan diri dari Makhluk. Ketika kehidupan materialistik mulai
mencuat dalam peri kehidupan masyarakat muslim pada abad kedua dan ketiga
hijriyyah sebagai akibat dari kemajuan ekonomi di dunia Islam, orang-orang yang
konsentrasi beribadah dan menjauhkan diri dari hiruk pikuknya kehidupan dunia
disebutlah kaum sufi.
Berbeda dengan Ibnu Khaldun, Muhammad Iqbal dalam bukunya “Tajdid
al-Fikr ad-Dini al-Islam” berpendapat bahwa tasawuf telah ada semenjak
Nabi. Riyadoh Diniyyah telah lama menyertai kehidupan manusia sejak awal-awal
Islam bahkan kehidupan ini semakin mengental di dalam sejarah kemanusiaan.
Menurut sebagian fakar, Imam Ali bin Abi Thalib adalah orang pertama yang
memunculkan istilah taswuf. Menurut yang lain Salman al-Farisi.
Akar-akar tasawuf dalam Islam merupakan penjabaran dari ihsan. Ihsan
sendiri merupakan bagian dari trilogi ajaran Islam. Islam adalah satu kesatuan
dari iman, islam dan ihsan. Islam adalah penyerahan diri kepada Allah secara
zahir, iman adalah I’tikad batin terhadap hal-hal gaib yang ada dalam rukun
iman, sedangkan ihsan adalah komitmen terhadap hakikat zahir dan batin.
B. TASAWUF AKHLAQI
Taswuf akhlaki adalah taswuf yang berkonsentrasi pada perbaikan akhlak.
Dengan metode-metode tertentu yang telah dirumuskan,tasawuf bentuk ini
berkonsentrasi pada upaya-upaya menghindarkan diri dari akhlak yang tercela
(Mazmumah) sekaligus mewujudkan akhlak yang terpuji (Mahmudah) didalam diri
para sufi.
Dalam pandangan para sufi berpendapat bahwa untuk merehabilitasi sikap
mental yang tidak baik diperlukan terapi yang tidak hanya dari aspek lahiriyah.
Oleh karena itu pada tahap-tahap awal memasuki kehidupan tasawuf, seseorang
diharuskan melakukan amalan dan latihan kerohanian yang cukup berat tujuannya
adalah mengusai hawa nafsu, menekan hawa nafsu, sampai ke titik terendah dan
-bila mungkin- mematikan hawa nafsu sama sekali oleh karena itu dalam tasawuf
akhlaqi mempunyai tahap sistem pembinaan akhlak disusun sebagai berikut:
1. Takhalli
Takhalli merupakan langkah pertama yang harus di lakukan oleh seorang sufi.
Takhalli adalah usaha mengosongkan diri dari perilaku dan akhlak tercela. Salah
satu dari akhlak tercela yang paling banyak menyebabkan akhlak jelek antara
lain adalah kecintaan yang berlebihan kepada urusan duniawi.
2. Tahalli
Tahalli adalah upaya mengisi dan menghiasi diri dengan jalan membiasakan
diri dengan sikap, perilaku, dan akhlak terpuji. Tahapan tahalli dilakukan kaum
sufi setelah mengosongkan jiwa dari akhlak-akhlak tercela. Dengan menjalankan
ketentuan agama baik yang bersifat eksternal (luar) maupun internal (dalam).
Yang disebut aspek luar adalah kewajiban-kewajiban yang bersifat formal seperti
sholat, puasa, haji dll. Dan adapun yang bersifat dalam adalah seperti
keimanan, ketaatan dan kecintaan kepada Tuhan
3. Tajalli
Untuk pemantapan dan pendalaman materi yang telah dilalui pada fase
tahalli, maka rangkaian pendidikan akhlak selanjutnya adalah fase tajalli. Kata
tajalli bermakna terungkapnya nur ghaib. Agar hasil yang telah diperoleh jiwa
dan organ-organ tubuh –yang telah terisi dengan butir-butir mutiara akhlak dan
sudah terbiasa melakukan perbuatan-perbuatan yang luhur- tidak berkurang, maka
rasa ketuhanan perlu dihayati lebih lanjut. Kebiasaan yang dilakukan dengan
kesadaran optimum dan rasa kecintaan yang mendalam dengan sendirinya akan
menumbuhkan rasa rindu kepada-Nya.
C. TOKOH-TOKOH TASAWUF DAN PEMIKIRANNYA
Tasawuf Akhlaki merupakan tasawuf yang berorientasi pada perbaikan akhlak’
mencari hakikat kebenaran yang mewujudkan menuasia yang dapat ma’rifah kepada
Allah, dengan metode-metode tertentu yang telah dirumuskan. Tasawuf Akhlaki,
biasa disebut juga dengan istilah tasawuf sunni. Tasawuf Akhlaki ini
dikembangkan oleh ulama salaf as-salih.
Dalam diri manusia ada potensi untuk menjadi baik dan potensi untuk menjadi
buruk. Potensi untuk menjadi baik adalah al-‘Aql dan al-Qalb.
Sementara potensi untuk menjadi buruk adalah an-Nafs. (nafsu) yang
dibantu oleh syaithan.
Sebagaimana
digambarkan dalam al-Qur’an, surat as-Syams : 7-8 sebagai berikut :
Artinya : “Dan
jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa
itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya”.
Para sufi yang mengembangkan taswuf akhlaki antara lain : Hasan al-Basri
(21 H – 110 H), al-Muhasibi (165 H – 243 H), al-Qusyairi (376 H – 465 H),
Syaikh al-Islam Sultan al-Aulia Abdul Qadir al-Jilani (470 – 561 H), Hujjatul
Islam Abu Hamid al-Gajali (450 H – 505 H), Ibnu Atoilah as-Sakandari dan
lain-lain.
1.
Tokoh-tokoh Tasawuf Ahlaki dan Ajarannya
Tasawuf Sunni (akhlaki) yaitu tasawuf yang benar-benar mengikuti Al-qur’an
dan Sunnah, terikat, bersumber, tidak keluar dari batasan-batasan keduanya,
mengontrol prilaku, lintasan hati serta pengetahuan dengan neraca keduanya.
Sebagaimana ungkapan Abu Qosim Junaidi al-Bagdadi: “Mazhab kami ini terikat
dengan dasar-dasar Al-qur’an dan Sunnah”, perkataannya lagi: “Barang siapa yang
tidak hafal (memahami) Al-qur’an dan tidak menulis (memahami) Hadits maka orang
itu tidak bisa dijadikan qudwah dalam perkara (tarbiyah tasawuf) ini, karena
ilmu kita ini terikat dengan Al-Qur’an dan Sunnah.”. Tasawuf ini diperankan
oleh kaum sufi yang mu’tadil (moderat) dalam pendapat-pendapatnya, mereka
mengikat antara tasawuf mereka dan Al-qur’an serta Sunnah dengan bentuk yang
jelas. Boleh dinilai bahwa mereka adalah orang-orang yang senantiasa menimbang
tasawuf mereka dengan neraca Syari’ah.
Tasawuf ini berawal dari zuhud, kemudian tasawuf dan berakhir pada akhlak.
Mereka adalah sebagian sufi abad kedua, atau pertengahan abad kedua, dan
setelahnya sampai abad keempat hijriyah. Dan personal seperti Hasan Al-Bashri,
Imam Abu Hanifa, al-Junaidi al-Bagdadi, al-Qusyairi, as-Sarri as-Saqeti,
al-Harowi, adalah merupakan tokoh-tokoh sufi utama abad ini yang berjalan
sesuai dengan tasawuf sunni. Kemudian pada pertengahan abad kelima hijriyah
imam Ghozali membentuknya ke dalam format atau konsep yang sempurna, kemudian
diikuti oleh pembesar syekh Toriqoh. Akhirnya menjadi salah satu metode
tarbiyah ruhiyah Ahli Sunnah wal jamaah. Dan tasawuf tersebut menjadi sebuah
ilmu yang menimpali kaidah-kaidah praktis.
·
Junaid Al-Baghdadi
Nama lengkapnya adalah Abu al-Qasim al-Junaid bin Muhammad al-Kazzaz
al-nihawandi. Dia aadalah seorang putera pedagang barang pecah belah dan keponakan
Surri al-Saqti serta teman akrab dari Haris al-Muhasibi. Dia meninggal di
Baghdad pada tahun 297/910 M. dia termasuk tokoh sufi yang luar biasa, yang
teguh dalam menjalankan syari`at agama, sangat mendalam jiwa kesufiannya. Dia
adalah seorang yang sangat faqih, sering memberi fatwa sesuia apa yang
dianutnya, madzhab abu sauri: serta teman akrab imam Syafi`i.
Dikatakan bahwa para sufi pada masanya, al-junaid adalah seorang sufi yang
mempunyai wawasan luas terhadap ajaran tasawuf, mampu membahas secara mendalam,
khusus tentang paham tauhid dan fana`. Karena itulah dia digelari Imam Kuam
Sufi (Syaikh al-Ta`ifah); sementara al-Qusayiri di dalam kitabnya al-Risaalah
al-Qusyairiyyah menyebutnya Tokoh dan Imam kaum Sufi. Asal-usul al-Junaid
berasal dari Nihawan. Tetapi dia lahir dan tumbuh dewasa di Irak. Tentang
riwayat dan pendidikannya, al-junaid pernah berguru pada pamannya Surri
al-Saqti serta pada Haris bin `Asad al-muhasibi.
Kemampuan al-Junaid untuk menyapaikan ajaran agama kepada umat diakui oleh
pamannya, sekaligus gurunya, Surri al-Saqti. Hal ini terbukti pada kepercayaan
gurunya dalam memberikan amanat kepadanya untuk dapat tampil dimuka umum.
Al-Junaid dikenal dalam sejarah atsawuf sebagai seorang sufi yang banyak
membahas tentang tauhid. Pendapat-pendapatnya dalam masalah ini banyak
diriwayatkan dalam kitab-kitab biografi para sufi, antara lain sebagaimana
diriwayatkan oleh al-qusyairi: “oang-orang yang mengesakan Allah adalah mereka
yang merealisasikan keesaan-Nya dalam arti sempurna, meyakini bahwa Dia adalah
Yang Maha Esa, dia tidak beranak dan diperanakkan. Di sini memberikan
pengertian tauhid yang hakiki. Menurutnya adalah buah dari fana` terhadap semua
yang selain Allah. Dalam hal ini dia menegaskan
Al-Junaid juga menandaskan bahwa tasawuf berarti “allah akan menyebabkan
mati dari dirimu sendiri dan hidup di dalam-Nya.” Peniadaan diri ini oleh
Junaid disebut fana`, sebuah istilah yang mengingatkan kepada ungkapan Qur`ani
“segala sesuatu akan binasa kecuali wajah-Nya (QA. 55:26-27); dan hidup dan
hidup dalam sebutannya baqa`. Al-Junaid menganggap bahwa tasawuf merupakan
penyucian dan perjuangan kejiwaan yang tidak ada habis-habisnya.
Disamping
al-Junaid menguraikan paham tauhid dengan karakteristik para sufi, dia juga
mengemukakan ajaran-ajaran tasawuf lainnya.
·
Al-Qusyairi An-Naisabury
Dialah Imam Al-Qusyary an-Naisabury, tokoh sufi yang hidup pada abad kelima
hijriah. Tepatnya pada masa pemerintahan Bani Saljuk. Nama lengkapnya adalah
Abdul Karim al-Qusyairy, nasabnya Abdul Karim ibn Hawazin ibn Abdul Malik ibn
Thalhah ibn Muhammad. Ia lahir di Astawa pada Bulan Rabiul Awal tahun 376 H
atau 986 M.
Sedikit sekali informasi penulis dapat yang menerangkan tentang masa
kecilnya. Namun yang jelas, dia lahir sebagai yatim. Bapaknya meninggal dunia saat
usianya masih kecil. Sepeninggal bapaknya, tanggungjawab pendidikan diserahkan
pada Abu al-Qosim al-Yamany. Ketika beranjak dewasa, Al-Qusyairy melangkahkan
kaki meninggalkan tanah kelahiran menuju Naisabur, yang saat itu menjadi
Ibukota Khurasan. Pada awalnya, kepergiannya ke Naisabur untuk mempelajari
matematika. Hal ini dilakukan karena Al-Qusyairy merasa terpanggil menyaksikan
penderitaan masyarakatnya, yang dibebani biaya pajak tinggi oleh penguasa saat
itu. Dengan mempelajari matematika, ia berharap, dapat menjadi petugas penarik
pajak dan meringankan kesulitan masyarakat saat itu.
Naisabur merupakan kota yang menyimpan peluang besar untuk perkembangan
berbagai macam disiplin ilmu, karena banyak kaum intelektual yang hidup disana.
Di kota inilah, untuk pertama kalinya Al-Qusyairy bertemu bertemu Sheikh Abu
‘Ali Hasan ibn ‘Ali an-Naisabury, yang lebih dikenal dengan panggilan
Ad-Daqqaq. Pertemuan itu menyisakan kekaguman Al-Qusyairy pada
peryataan-pernyataan Ad-Daqqaq. Perlahan, keinginannya mempelajari matermatika
pun hilang. Ia pun memilih jalan tarekat dengan belajar dari Ad-Daqqaq. Berawal
dari sinilah, Al-Qusyairy mengenal Tasawuf. Al-Daqqaq merupakan guru pertama
Al-Qusyairy dalam bidang Tasawuf. Dari ia pula Al-Qusyairy mempelajari banyak
hal, tidak hanya terbatas Tasawuf, tetapi juga ilmu-ilmu keislaman yang lain.
Al-Qusyairy mampu memahami dengan baik semua pengetahuan yang diajarkan
gurunya. Dari sinilah Ad-Daqqaq menyadari kemampuan intelektual Al-Qusyairy.
Mungkin, hal ini menjadi salah satu faktor yang mendorong inisiatif Ad-Daqqaq
untuk menikahkan putrinya, Fatimah dengan Al-Qusyairy.
Pernikahan ini berlangsung pada antara tahun 405 – 412 H/1014 – 1021 M.
Fatimah merupakan wanita ahli sastra dan tekun beribadah. Dari pernikahan ini,
lahirlah enam putera dan satu puteri, yaitu; Abu Said Abdullah, Abu Said Abdul
Wahid, Abu Mansyur Abdurrahman, Abu Nashr Abdurrahim, Abu Fath Ubaidillah, Abu
Muzaffar Abdul Mun’im dan putri Amatul Karim.
Disamping berguru pada mertuanya, Imam Al-Qusyairy juga berguru pada para
ulama lain. Diantaranya, Abu Abdurrahman Muhammad ibn al-Husain (325-412
H/936-1021 M), seorang sufi, penulis dan sejarawan. Al-Qusyairy juga belajar
fiqh pada Abu Bakr Muhammad ibn Abu Bakr at-Thusy (385-460 H/995-1067 M,
belajar Ilmu Kalam dari AAbu Bakr Muhammad ibn al-Husain, seorang ulama ahli
Ushul Fiqh. Ia juga belajar Ushuluddin pada Abu Ishaq Ibrahim ibn Muhammad,
ulama ahli Fiqh dan Ushul Fiqh. Al-Qusyairy pun belajar Fiqh pada Abu Abbas ibn
Syuraih, serta mempelajari Fiqh Mazhab Syafi’i pada Abu Mansyur Abdul Qohir ibn
Muhammad al-Ashfarayain.
Al-Qusyairy banyak menelaah karya-karya al-Baqillani, dari sini ia
menguasai doktrin Ahlusunnah wal Jama’ah yang dikembangkan Abu Hasan al-Asy’ary
(w.935 M) dan para pengikutnya. Karena itu tidak mengherankan, kalau Kitab
Risalatul Qusyairiyah yang merupakan karya monumentalnya dalam bidang Tasawuf
-dan sering disebut sebagai salah satu referensi utama Tasawuf yang bercorak
Sunni-, Al-Qusyairy cenderung mengembalikan Tasawuf ke dalam landasan
Ahlusunnah Wal Jama’ah. Dia juga penentang keras doktrin-doktri aliran
Mu’tazilah, Karamiyah, Mujassamah dan Syi’ah. Karena tindakannya itu,
Al-Qusyairy pernah mendekam dalam penjara selama sebulan lebih, atas perintah
Taghrul Bek, karena hasutan seorang menteri yang beraliran Mu’tazilah yaitu Abu
Nasr Muhammad ibn Mansyur al-Kunduri
Perburuan terhadap para pemuka aliran Asy’ariyah itu berhenti dengan
wafatnya Taghrul Bek pada tahun 1063 M. Penggantinya, Alp Arsalen (1063-1092
M), kemudian mengangkat Nizam al-Mulk sebagai pengganti al-Khunduri. Kritik
Terhadap Para Sufi Dr. Abu al-Wafa’ al-Ghanimi al-Taftazani, Guru Besar
Filsafat Islam dan Tasawuf pada Universitas Kairo, yang juga tokoh dan Ketua
Perhimpunan Sufi Mesir (Robithah al-Shufihiyah al-Mishriyah) menulis, Imam
Al-Qusyairy mengkritik para sufi aliran Syathahi yang mengungkapkan
ungkapan-ungkapan penuh kesan tentang terjadinya Hulul (penyatuan) antara
sifat-sifat kemanusiaan, khususnya sifat-sifat barunya, dengan Tuhan.
Al-Qusyairy juga mengkritik kebiasaan para sufi pada masanya yang selalu
mengenakan pakaian layaknya orang miskin. Ia menekankan kesehatan batin dengan
perpegang pada Al-Qur’an dan Sunnah Rasul. Hal ini lebih disukainya daripada
penampilan lahiriah yang memberi kesan zuhud, tapi hatinya tidak demikian.
(lihat, Dr. Abu al-Wafa’ al-Ghanimi al-Taftazani, Madkhal ilaa al-Tasawwuf
al-Islam, cetakan ke-IV. Terbitan Dar al-Tsaqofah li an-Nasyr wa al-Tauzi,
Kairo, 1983)
Dari sini dapat dipahami, Al-Qusyairy tidak mengharamkan kesenangan dunia,
selama hal itu tidak memalingkan manusia dari mengingat Allah. Beliau tidak
sependapat dengan para sufi yang mengharamkan sesuatu yang sebenarnya tidak
diharamkan agama. Karena itu Al-Qusyairy menyatakan, penulisan karya
monumentalnya Risalatul Qusyairiyah, termotinasi karena dirinya merasa sedih
melihat persoalan yang menimpah dunia Tasawwuf. Namun dia tidak bermaksud
menjelek-jelekkan seorang pun para sufi ketika itu. Penulisan Risalah hanya
sekadar pengobat keluhan atas persoalan yang menimpa dunia Tasawuf kala itu.
Imam Al-Qusyairy merupakan ulama yang ahli dalam banyak disiplin ilmu yang
berkembang pada masanya, hal ini terlihat dari karya-karya beliau, seperti yang
tercantum pada pembukaan Kitabnya Risalatul Qusyairiyah.
Karya-karya itu adalah; Ahkaamu as-Syariah, kitab yang membahas
masalah-masalah Fiqh, Adaabu as-Shufiyyah, tentang Tasawuf, al-Arbauuna fil
Hadis, kitab ini berisi 40 buah hadis yang sanadnya tersambung dari gurunya Abi
Ali Ad-Daqqaq ke Rasulullah. Karya lainnya adalah; Kitab Istifaadatul
Muraadaats, Kitab Bulghatul Maqaashid fii al-Tasawwuf, Kitab at-Tahbir fii
Tadzkir, Kitab Tartiibu as-Suluuki fii Tariqillahi Ta’ala yang merupakan
kumpulan makalah beliau tentang Tasawwuf, Kitab At-Tauhidu an-Nabawi, Kitab
At-Taisir fi ‘Ulumi at-Tafsir atau lebih dikenal dengan al-Tafsir al-Kabir. Ini
merupakan buku pertama yang ia tulis, yang penyusunannya selesai pada tahun 410
H/1019 M. Menurut Tajuddin as-Syubkhi dan Jalaluddin as-Suyuthi, tafsir
tersebut merupakan kitab tafsir terbaik dan terjelas
Menurut Syuja’al-Hazaly, Imam Al-Qusyairy menutup usia di Naisabur pada
pagi Hari Ahad, tanggal 16 Rabiul Awal 465 H/ 1073 M, dalam usia 87 tahun.
Dikisahkan bahwa beliau mempunyai seekor kuda yang telah mengabdi padanya
selama selama 20 tahun. Pada saat Al-Qusyairy wafat, kuda itu sangat sedih dan
tidak mau makan selama dua minggu, hingga akhirnya ikut mati. Setelah
Al-Qusyairy wafat, tak ada seorang pun yang berani memasuki perpustakaan
pribadinya selama beberapa tahun. Hal ini dilakukan sebagai bentuk penghormatan
bagi al-Imam Radiyallah Ta’ala ‘Anhu. Wallahu a’lam bi al-Showab.
·
Al-Harawi
Nama lengkapnya adalah Abu isma`il `Abdullah bin Muhammad al-Ansari. Beliau
lahir tahun 396 H. di Heart, kawasan khurasan. Seperti dikatakan Louis
Massignon, dia adalah seorang faqih dari madzhab hambali; dan karya-karyanya di
bidang tasawuf dipandang amat bermut. Sebagai tokoh sufi pada abad kelima
Hijriyah, dia mendasarkan tasawufnya di atas doktrin Ahl al-Sunnah. Bahkan ada
yang memandangnya sebagai pengasas gerakan pembaharuan dalam tasawuf dan
penentang para sufi yang terkenal dengan ungkapan-ungkapan yang anah, seperti al-Bustami
dan al-Hallaj.
Di antara karya-karya beliau tentang tasawuf adalah Manazil al-Sa`irin ila
Rabb al-`Alamin. Dalam dalam karyanya yang ringkas ini, dia menguraikan
tingkatan-tingkatan rohaniyah para sufi, di mana tingakatan para sufi tersebut,
menurutnya, mempunyai awal dan akhir, seperti katanya; ”kebanyakan ulama
kelompok ini sependapat bahwa tingkatan akhir tidak dipaandang benar kecuali
dengan benarnya tingkatan awal, seperti halnya bangunan tidak bias tegak
kecuali didasarkan pada fondasi. Benarnya tingkatan awal adalah dengan
menegakkannya di atas keihklasan serta keikutannya terhadap al-Sunnah”.
Dalam kedudukannya sebagai seorangpenganut paham sunni, al-harawi
melancarkan kritik terhadap para sufi yang terkenal dengan keanehan
ucapan-ucapannya, sebagaimana katanya.
Dalam kaitannya dengan masalah ungkapan-ungkapan sufi yang aneh tersebut,
al-Harwi berbicara tentang maqam ketenangan (sakinah). Maqam ketenangan timbul
dari perasaan ridha yang aneh. Dia mengatakan: “peringkat ketiga (dari peringkat-peringkat
ketenangan) adalah ketenagan yang timbul dari perasaan ridhaatas bagian yang
diterimanya. Ketenangan tersebut bias mencegah ucapan aneh yang menyesatkan ;
dan membuat orang yang mencapainya tegak pada batas tingkatannya. “yang
dimaksud dengan ucapan dengan ucapan yang menyesatkan itu adalah seperti
ungkapan-ungkapan yang diriwayatkan dari Abu yazid dan lain-lain. Berbeda
dengan al-Jinaid, Sahl al-Tusturi dan lainnya; karena mereka ini memiliki
ketenangan yang membuat mereka tidak mengucapkan ungkapan-ungkapan yang anah.
Karena itu dapat dikatakan bahwa ungkapan-ungkapan yang aneh tersebut timbul
dari ketidak tenangan, sebab, seandainya ketenangan itu telah bersemi di kalbu,
maka hal itu akan membuatnya terhindar dari mengucapkan ungkapan-ungkapan yang
menyesatkan tersebut.
Kemudian yang dimaksud dengan batas tingkatan adalah tegaknya seorang sufi
pada batas tingkatan kedudukannya sebagai seorang hamba. Tegasnya, di
sekali-kali tidak melewati tingkatan kedudukannya sebagai seorang hamba.
Ketenangan tersebut, menurut al-harawi, tidak di turunkan kecuali pada kalbu
seorang nabi atau wali.
D. Ciri-ciri Tasawuf Akhlaqi
• Melandaskan
diri ada Al-Qur’an dan As-sunah. mereka tidak mau menerjunkan pemahamannya pada
konteks iluar pembahasan Al-Qur’an dan Hadits
• Tidak
menggunakan terminologi-terminologi filsafat sebagaimana terdapat pada ungkapan
syahadat-syahadat.
• Lebih
bersifat mengajarkan dualisme dalam hubungan antara tuhan dan manusia. Dualisme
yang dimaksud disiini adalah ajaran yang mengakui bahwa meskipun manusia dapat
berhubungan dengan tuhan, sehubungannya tetap dalam kerangka yang berbeda
diantara keduanya,dalam hal esensinya.
•
Kesenambungan,antar hakikat dan syariat.
• Lebih
terkonsentrasi pada soal pembinaan,pendidikan akhlak,dan pengobatan jiwa dengan
cara riyadhah (latihan mental)dan langkah takhalli, tahalli, tajalli.
PENUTUP
KESIMPULAN
Taswuf akhlaki adalah taswuf yang berkonsentrasi pada perbaikan akhlak.
Dengan metode-metode tertentu yang telah dirumuskan,tasawuf bentuk ini
berkonsentrasi pada upaya-upaya menghindarkan diri dari akhlak yang tercela
(Mazmumah) sekaligus mewujudkan akhlak yang terpuji (Mahmudah) didalam diri
para sufi.
Selain itu, tasawuf juga mempunyai tujuan-tujuan
sebagai berikut:
1.Berupaya
menyelamatkan diri dari akidah-akidah syirik dan batil
2.Melepaskan
diri (takhalli) dari penyakit-penyakit kalbu.
3.Menghiasi diri
(tahalli) dengan akhlak Islam yang mulia.
4.Mencapai
derajat ihsan dalam ibadah (tajalli).
Dengan demikian kaum sufi harus selalu melaksanakan pembinaan akhlak mulia
dalam diri mereka pada setiap kali beribadah.
Wallahu A’lam
bish-Shawab